JAKARTA — Proyek penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia (SNI) bukan sekadar pembaruan buku teks, tapi sebuah upaya besar merajut kembali benang merah keindonesiaan. Hal itu ditegaskan Ketua Tim Penulisan Ulang SNI, Prof Susanto Zuhdi, dalam forum daring Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), Selasa (27/5/2025) malam.
“Buku sejarah nasional yang kita pakai saat ini sudah usang. Mayoritas hanya mengalami penambahan kecil, itu pun hanya di jilid 6,” kata Prof Zuhdi, yang juga dikenal luas sebagai penulis sejarah maritim, termasuk soal pelabuhan Cilacap.
Lebih lanjut, Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia ini menyebut bahwa proyek penulisan ulang ini melibatkan 113 sejarawan dari 34 perguruan tinggi, termasuk dari Aceh hingga Papua. “Sudah komplit, dan ini perlu dipublikasikan. Ini bagian dari pengabdian kepada masyarakat,” ujarnya.
Ia menjelaskan, proyek ini dibiayai negara dan disebut sebagai “sejarah resmi” hanya karena berasal dari institusi pemerintah. Namun ia menegaskan:
“Kekhawatiran proyek ini jadi alat legitimasi politik itu berlebihan. Buku ini disusun oleh sejarawan profesional, bukan pesanan penguasa.”
Prof Santo juga menegaskan, misi utama dari proyek ini adalah reinventing national identity—membentuk ulang identitas nasional berdasarkan khasanah sejarah yang jauh ke masa lalu.
“Jangan hanya belajar sejarah yang dekat-dekat. Kita punya tinggalan sejarah sejak 52 ribu tahun silam,” ujarnya penuh semangat.
Ia juga mengklarifikasi soal mundurnya arkeolog Truman Simanjuntak dari tim, sebagai perbedaan pandangan semata, bukan konflik besar. “Kita sepakat bahwa begitu ada manusia, di situ ada sejarah. Soal bahasa interpretasi saja,” katanya.
Hingga kini, penulisan sebagian sudah selesai 50 hingga 100 persen. Buku akan terbagi dalam 10 jilid, namun Prof Zuhdi menyebut jumlah itu belum cukup:
“Pak Nasution dulu menulis 11 jilid hanya untuk Perang Kemerdekaan. Kita harus lebih luas.”
Salah satu “bocoran” isi buku baru yang menarik adalah soal Portugis dan Spanyol sebagai penjajah di Indonesia timur, serta catatan tentang pengembangan nuklir di masa Bung Karno pada 1957.
“Penjajahan tak cuma oleh Belanda. Sejarah kita luas dan beragam. Bab-babnya juga akan berubah. Buku ini kita tulis untuk Indonesia sebagai rumah bersama yang inklusif, jadi tidak perlu khawatir,” pungkasnya.