INFOBANJARNEGARA.com – Di tengah dinginnya Dataran Tinggi Dieng, tepatnya tidak jauh dari kompleks Candi Arjuna, terdapat sebuah situs cagar budaya yang dikenal dengan nama Gangsiran Aswatama. Situs ini menyerupai sumur dan menyimpan cerita yang kaya akan sejarah serta mistis.
Nama Gangsiran Aswatama mengandung makna yang menarik untuk ditelusuri. “Gangsiran” dalam bahasa Jawa berarti galian, sementara “Aswatama” merujuk pada sosok dalam pewayangan yang memiliki kesaktian luar biasa, salah satunya kemampuan untuk lenyap ke dalam tanah. Kombinasi nama ini seolah menggambarkan fungsi dan kisah mistis yang terkait dengan situs tersebut.
Gangsiran Aswatama diyakini dibangun sekitar abad ke-8, bertepatan dengan masa pembangunan candi-candi di Dataran Tinggi Dieng. Situs ini berfungsi sebagai sistem pengendalian air, terutama untuk mengatasi masalah banjir di kawasan yang dahulu menyerupai rawa-rawa. Bahkan, kompleks Candi Arjuna sendiri ketika pertama kali ditemukan, tergenang air.
Keunikan Gangsiran: Saluran Air Bawah Tanah Purba
Salah satu keunikan dari Gangsiran Aswatama adalah adanya jaringan terowongan bawah tanah yang menghubungkan satu sumur dengan sumur lainnya. Ini menunjukkan bahwa masyarakat pada masa itu sudah memiliki pengetahuan teknis yang maju dalam hal pengelolaan air. Hingga kini, tercatat ada 44 gangsiran yang ditemukan di Dieng, meski hanya beberapa di antaranya yang dirawat dengan baik.
Pentingnya Pelestarian Gangsiran Aswatama
Gangsiran Aswatama bukan hanya sekadar situs sejarah, melainkan bukti konkret bahwa peradaban di masa lalu telah memiliki teknologi dan pengetahuan yang maju. Oleh karena itu, pelestarian situs ini sangat penting, baik sebagai warisan budaya maupun sebagai inspirasi bagi generasi mendatang.
Dengan adanya pagar pelindung dan papan informasi yang menjelaskan pentingnya situs ini, Gangsiran Aswatama menjadi salah satu bukti nyata bahwa masyarakat Nusantara sudah memiliki kemampuan untuk menciptakan solusi teknis yang canggih di zamannya.